TRAGEDI Sambas sudah berlangsung dua bulan, menghancurkan sekitar 3.000
rumah, dan menewaskan lebih 200 orang. Mengapa amuk massa di Sambas bisa
terjadi? Kata antropolog senior dari Universitas Indonesia, Prof Dr
Parsudi Suparlan (61), “Itu ungkapan frustrasi sosial yang mendalam dan
berkepanjangan yang dirasakan orang-orang Melayu atas perbuatan
sewenang-wenang orang Madura sebelumnya.”
Parsudi menarik kesimpulan itu sesudah memimpin tim pakar bentukan
Markas Besar Kepolisian RI membuat penelitian di tempat kerusuhan, 9-20
April 1999. Mereka meneliti di tiga wilayah kajian, yaitu Pontianak,
Sambas/Singkawang, dan desa-desa kantung konflik. Tim itu beranggota
pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi: Prof Dr S Budhisantoso,
Prof Dr Sardjono Jatiman SH, Prof Dr Sarlito W Sarwono, Prof Dr Syarif
Ibrahim Alqadrie. Bersama mereka ada dua polisi dari Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK) Letkol (Pol) Drs Bambang Wahyono MSi dan Letkol
(Pol) Drs Agus Wantoro MSi.
Tim ini mewawancarai masyarakat Melayu, Dayak, dan Madura. Mereka
mendatangi warga di desa/kecamatan seperti di Pemangkat dan Jawai
(Kabupaten Sambas), bertatap muka dengan masyarakat Melayu di Keraton
Sambas, dan masyarakat Melayu/Dayak di aula mes pemda setempat di
Singkawang. Wawancara dengan tokoh Madura Singkawang dilakukan di hotel
di Singkawang, demi keamanan bersama.
***
MENURUT Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI, penyebab kerusuhan
adalah faktor kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan
sumber daya dan lingkungan). Orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan
Sunda, menghindari konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan
lingkungan akibat pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil,
tak ada demokrasi berpolitik dan berbudaya. Hutan-hutan mereka diambil
untuk keperluan pengusaha HPH. Mereka menghadapi masyarakat Madura yang
sebagian besar mencari keuntungan materi dengan cara apa pun.
“Orang Melayu-seperti orang Dayak-mencari nafkah sekadar memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika arus pendatang makin deras, orang
Melayu melihat, lapangan kerja yang sebelumnya tidak diperhitungkan,
ternyata membuahkan keuntungan, misalnya sektor angkutan umum. Orang
Melayu bukannya kalah bersaing, tetapi dalam budayanya sudah ditanamkan
untuk menghindari konflik,” katanya.
Benturan budaya yang semakin kuat membuat orang Melayu akhirnya meledak.
Persoalannya, masyarakat Melayu belum menyiapkan pranata untuk
memenangkan persaingan menguasai sumber daya. Yang ada sekarang, mereka
tetap merasa diri terinjak-injak dan teraniaya. Persoalannya menurut
sosiolog UI Prof Dr Sardjono Jatiman (58), masyarakat pendatang memiliki
kultur kekerasan. Katanya, “Untuk menyelesaikan setiap persoalan selalu
dengan senjata. Mereka memiliki budaya miskin yang menghalalkan segala
cara, sehingga terjadilah benturan-benturan budaya.”
Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof Dr Syarif Ibrahim
Alqadrie mengungkapkan, solusi jangka pendek adalah mengeluarkan untuk
sementara waktu warga Madura dari kantung-kantung konflik di Kabupaten
Sambas. Sesudah itu, tambah Sardjono, mereka meminta maaf kepada
masyarakat Melayu (dan juga Dayak).
***
PERTIKAIAN antaretnis yang terjadi berulang kali di Kalbar, menurut
Sardjono, karena masing-masing kelompok tidak belajar dari pengalaman
untuk hidup bersama secara menguntungkan. “Ibaratnya, pelajar sekolah
tidak naik kelas berkali-kali. Dan kalau sampai sebelas kali, itu sudah
keterlaluan,” katanya.
Parsudi Suparlan melihat masyarakat pendatang tidak belajar dari diri
sendiri dan dari orang lain. Tegasnya, “Kok di daerah lain orang Madura
bisa akur, tetapi di Kalbar selalu bertikai. Ini disebabkan masyarakat
Melayu tidak tegas menuntut.” Menurut Parsudi, masyarakat Madura
menyadari kekeliruan mereka. Dalam pertemuan dengan tim pakar Mabes
Polri, mereka bersedia mengoreksi warganya yang melanggar hukum.
Perbuatan oleh pribadi dan individu, tidak boleh dianggap sebagai
perbuatan kelompok. Kalau satu orang mencuri, satu kampung tidak
kemudian “mendukung” individu yang berbuat salah, seperti yang terjadi
selama ini.
Singkatnya, kata Sardjono, aturan main harus adil. Pelanggaran hukum
harus diselesaikan melalui lembaga adat dan proses penegakan hukum yang
adil. Tetapi ini semua tidak terjadi di Sambas. Kasus penyerangan
perkampungan Melayu di Desa Parit setia (Kecamatan Jawai) oleh
masyarakat Madura pada Hari Idul Fitri 19 Januari, kata Budhisantoso,
seharusnya dapat diselesaikan melalui proses hukum yang adil. Masyarakat
Melayu melihat dan mengalami ketidakadilan ini bukan cuma satu-dua
kali, tetapi sudah bertahun-tahun. Mereka merasa seperti dijajah.
Kemarahan terungkap dalam amuk massa, karena menganggap hukum tak lagi
adil. Dalam berbagai kasus, begitu ada warga pendatang ditangkap polisi,
satu kampung mendatangi kantor polisi dan mengintimidasi petugas serta
pihak yang melaporkan mereka. Warga melihat petugas tidak tegas karena
dengan mudahnya melepaskan penjahat, preman yang meresahkan, hanya
karena uang. Rasa keadilan yang tidak terpenuhi serta benturan-benturan
budaya yang terjadi lebih 50 tahun lamanya di Sambas, melahirkan
“pengadilan rakyat” yang membuahkan sebuah tragedi umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar