Minggu, 08 Desember 2013

Pertemuan pertama SCG

Photo bersama saat selesai acar
Alhamdulillah.. malam ini (8 des 2013) acara pertemuan anggota SCG lancar, cuma ada sedikit kendala, karan separoh bahkan lebih anggota SCG yang lainnya tidak bisa hadir, karna berhalangan dengan kegiatan ekternal di kampus, jadi yang datang hnaya 12 orang, tapi cukup lumayan ramai, dalam pertemuan ini, membahas tentang keaktifan dan kegiatan yang akan di adakan dalam forum kita ini, dan acara ini di isi oleh Fahrurrazi sebagai penasehat kegiatan organisasi, di harap kan dalam pertamuan yang berikutnya semua anggota dapat menghadiri agenda kita. hasil kegiatan ini antara lain membahas tentang: 1. kesepakan kegiatan, 2. kekompakan dalam mengambil keputusan, 3. menjadi pemuda sambas yang bisa di andalkan, 4. menjadi pemimpin yang sukses, 5.mengharumkan nama baik pemuda sambas bahkan menjadi pelopor anak muda yang lainnya.
pada intinya komunitas kita ini akan mengadakan sebuah agenda yang akn kita sepakai bersama,
saat penyampaian materi oleh fahrurrazi

anggota lagi mendengarkan pembicara

photo bersama mr Azi (fahrurrazi)

serius

Minggu, 01 Desember 2013

Kec. Tangaran

Kecamatan Tangaran merupakan kecamatan kedelapan di Kabupaten Sambas yang dibentuk sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kecamatan Tangaran terbentuk secara resmi pada Hari Senin tanggal 15 Mei 2006 yang merupakan pemekaran kedua dari Kecamatan Teluk Keramat dengan luas wilayah 186,67 Km2.

Wilayah Administrasi Kecamatan Tangaran membawahi 7 Desa terdiri dari :
  1. Desa Simpang Empat
  2. Desa Merpati
  3. Desa Tangaran
  4. Desa Semata
  5. Desa Pancur
  6. Desa Merabuan
  7. Desa Arung Parak
Sejak dibentuk pada tahun 2006 s/d sekarang pejabat yang duduk sebagai Camat yakni :
  1. A. Rahmat, SIP., M.Si.
  2. Agustian, SIP., M.Si.
  3. Rusniardi, S.Pd.I 
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tangaran,_Sambas)
 Desa Tangaran Dusun Pendawan
Oleh: Hendra

Desa Tangaran terbagi atas beberapa Dusun,
di antaranya: Dusun, Pendawan, Dusun Pandam, Dusun Sedayan, Dusun Lubuk Baruk, Dusun Belawan

Dusun Pendawan
Ini merupakan kegiatan Rutin setiap tahunnya (merontok padi)
Dusun Pendawan adalah sebuah dusun yang berada di antara Dusun Pandam dan Dusun Sedayan, Dusun Pendawan saat ini memiliki beberapa tempat yang di bangun berbagai Fasilitas beresama, karna letak nya yang berada di tengah-tenga, saat ini Dusun Pendawan Memiliki masjid yang bernama Masjid Jihad, dan sekolah dasar SDN 03 Pendawan, dan memiliki PAUD, dan juga satu-satunya pintu masuk yang ada Pintu Gerbangnya, antara Dusun Pendawan dan Dusun Sedaya, dan juga memiliki sebuah lapangan bola... dan sempat juga kantor Lurah juga berada di Dusun Pendawan, kampung ini memiliki 3 jalan, utama, dan saat ini sudah banyak rumah yang berada di dalam Gang,, SDN 03 pernah mendapat penghargaan atas kerapaiannya, SDN pendawan berada di ujung kampung dan tepatnya berada di tepi Sungai, dekat jembatan Nibung (jembatan yang terbuat dari pohon sejenis Pinang yang memiliki duri dan di namakan Nibung) yang manjadi beban di kampung ini adalah masalah jalan yang semakin hari semakin kecil. akibatnya bagi pengendara motor kesukaran untk berselisih
ini adalah gambar-gambar fasilitas umjum yang ada di dusun pendawan,,
Jembatan Nibung menuju dusun Pandam

SDN 03 Pendawan

SDN

SDN

SDN

Masjid Jihad

Pintu gerbang mssuk





















Suku Sambas

Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang berbudaya melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Pontianak- Kalimantan Barat. Suku Melayu Sambas terkadang juga disebut Suku Sambas, tetapi penamaan tersebut jarang digunakan oleh masyarakat setempat.


Secara liguistik Suku Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak Melayik yang dituturkan oleh 3 suku Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).


Pada awalnya Sambas bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau yang lebih dikenal dengan Muara Ulakan. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya adalah Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai ( Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak. Adat-istiadat lama Suku Melayu Sambas banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun Melayik misalnya; tumpang 1000, tepung tawar, dan lainnya yang bernuansa Hindu.


Secara administratif, Suku Sambas merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 12% dari penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku Sambas tergabung ke dalam suku Melayu pada sensus 1930. Sehubungan dengan hal tersebut kemungkinan "Dialek Melayu Sambas" meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa kesukuan yaitu Bahasa Suku Sambas.


Perubahan Suku Sambas secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya yaitu Suku asli yang mendiami pulau Kalimantan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Sambas dengan cepat. Sehingga Sambas yang dahulunya beragama Hindu Kaharingan kehilangan jejak Kaharingan, walaupun sebagian kecil ada yang tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Sambas adalah Melayu, padahal tidaklah demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.


Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal Suku Sambas. Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan samar. Peneliti seringkali mengklasifikasikan berdasarkan bahasa, sedangkan menurut orang Kutai dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan yang mengklasifikasikan golongan berdasarkan budaya dan sejarah budayanya serta geneologi. Oleh karena itulah Suku Sambas diklasifikasikan ke dalam suku Dayak berbudaya Melayu.


Kabupaten Sambas terkenal dengan sebuah peninggalan sejarah yaitu sebuah keraton peninggalan Kesultanan Sambas. Penduduknya mayoritas melayu, dan berbahasa melayu. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah sama. Bahasa Melayu sangat mudah dipahami, apalagi bagi orang yang mendengar orang Betawi berbicara, karena kurang lebih bahasa Betawi dan Melayu sama, misalnya: Seseorang berbicara, "Kamu mau ke mana?", jika dalam bahasa melayu "Kau nak ke mane", (penyebutan "e" dalam bahasa melayu, sedangkan bahasa suku Sambas membunyikan "e" seperti bunyi pada kata "lele". Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia).

Cerita keramahan orang sambas

Ketika menginjakan kaki di Pulau Kalimantan bagian barat, hanya kata 'panas' yang terlontar
Semilir angin saja, tidak dapat dirasakan. Hanya panas, panas, dan panas
Badan pun suhunya tidak enak, karena memang sedang tidak enak badan
Jantung dag-dig-dug pleng pun masih terasa karena sempat turbulensi ketika di dalam pesawat
Menunggu di tempat travel menuju Pontianak-Sambas buang-buang waktu, lama

Ketika mobil mulai berjalan, rasa kantuk akibat obat sudah tidak dapat ditoleransi lagi
Akhirnya terlelap hingga sampai ke tujuan
Cukup lama terlelap dalam perjalanan
Kota Singkawang pun sampai tidak teramati

Sampailah di tujuan
Sambas, kabupaten perbatasan Indonesia-Malaysia

Pertama kali menginjakan, hanya pening di kepala
Rasanya ingin pulang kembali ke Jakarta

Di sela pening, kaki mulai melangkah mencari dokter
Tidak ada yang buka satu pun
Lemas sudah badan...

Mendadak seorang wanita yang baik hati menghantarkan ke seorang 'mantri' yang terkenal di Sambas
Tidak sampai sejam, sang mantri memberikan obat-obatan yang lumayan banyak
Hmmm...efek tidak nafsu makan membuat badan meradang ternyata

Tidak langsung di bawa ke temnpat penginapan, melainkan dihantarkan keliling Sambas
Walaupun hanya sekejap, tetapi sangat berkesan
Melihat Masjid Jami Kesultanan Sambas dan Istana Kesultanan Sambas
Bangunan kuno, tetapi rasa kagum tidak terbendung
Terasa kental adat Melayu-nya

Ternyata ada cerita mistis yang membuat orang-orang harus bersikap sopan di area masjid dan istana
Harus mengucapakan salam ketika memasuki gerbangnya
Konon di depan gerbang, terdapat 'penjaga' yang melindungi area masjid dan istana dari gangguan-gangguan negatif
Beginilah Indonesia, kita memang sudah diajarkan untuk bersikap sopan santun antar yang lainnya ^_^

Azan maghrib tiba, akhirnya sang ibu baik hati menghantarkan pulang ke penginapan
Selama perjalanan pulang, kami melewati Komplek Pemakaman Kesultanan Sambas
Ada rasa merinding ketika melewatinya

Selain berkeliling Sambas, sang ibu baik hati ini bercerita tentang makanan-makanan khas Sambas
Salahsatunya adalah Bubur Sambas
Sepintas sangat mirip dengan bubur ayam, tetapi yang berbeda adalah sambalnya
Katanya sambalnya super duper pedas
Sayang tidak bisa mencoba karena sakit T_T

Sampailah di penginapan
Sang ibu baik hati segera pulang ke rumahnya
Sungguh hari yang indah

Pagi harinya, sakit di badan mulai hilang
Hebat ternyata sang mantri ini
Bersiap-siap untuk meliput tim peneliti pertanian

Sore hari, mobil travel datang menjemput untuk kembali ke Pontianak
Rasa sedih cukup menghantui diri
Terasa berat untuk meninggalkan Sambas
Masih ingin mengekploitasi keindahan Sambas

Rintik hujan mulai dirasakan ketika meninggalkan Sambas
Selamat tinggal Sambas
Sampai jumpa lagi di kemudian hari
Terima kasih untuk semua masyarakat di Sambas
Terutama untuk sang ibu baik hati, Ibu Yuyun

Kerusuhan Sambas-menurut para Ahli

BENTURAN BUDAYA DAN RASA KEADILAN

TRAGEDI Sambas sudah berlangsung dua bulan, menghancurkan sekitar 3.000 rumah, dan menewaskan lebih 200 orang. Mengapa amuk massa di Sambas bisa terjadi? Kata antropolog senior dari Universitas Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan (61), “Itu ungkapan frustrasi sosial yang mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan orang-orang Melayu atas perbuatan sewenang-wenang orang Madura sebelumnya.”

Parsudi menarik kesimpulan itu sesudah memimpin tim pakar bentukan Markas Besar Kepolisian RI membuat penelitian di tempat kerusuhan, 9-20 April 1999. Mereka meneliti di tiga wilayah kajian, yaitu Pontianak, Sambas/Singkawang, dan desa-desa kantung konflik. Tim itu beranggota pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi: Prof Dr S Budhisantoso, Prof Dr Sardjono Jatiman SH, Prof Dr Sarlito W Sarwono, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Bersama mereka ada dua polisi dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Letkol (Pol) Drs Bambang Wahyono MSi dan Letkol (Pol) Drs Agus Wantoro MSi. 

Tim ini mewawancarai masyarakat Melayu, Dayak, dan Madura. Mereka mendatangi warga di desa/kecamatan seperti di Pemangkat dan Jawai (Kabupaten Sambas), bertatap muka dengan masyarakat Melayu di Keraton Sambas, dan masyarakat Melayu/Dayak di aula mes pemda setempat di Singkawang. Wawancara dengan tokoh Madura Singkawang dilakukan di hotel di Singkawang, demi keamanan bersama.
***



MENURUT Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI, penyebab kerusuhan adalah faktor kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan sumber daya dan lingkungan). Orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan Sunda, menghindari konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan lingkungan akibat pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil, tak ada demokrasi berpolitik dan berbudaya. Hutan-hutan mereka diambil untuk keperluan pengusaha HPH. Mereka menghadapi masyarakat Madura yang sebagian besar mencari keuntungan materi dengan cara apa pun.

“Orang Melayu-seperti orang Dayak-mencari nafkah sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika arus pendatang makin deras, orang Melayu melihat, lapangan kerja yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata membuahkan keuntungan, misalnya sektor angkutan umum. Orang Melayu bukannya kalah bersaing, tetapi dalam budayanya sudah ditanamkan untuk menghindari konflik,” katanya.

Benturan budaya yang semakin kuat membuat orang Melayu akhirnya meledak. Persoalannya, masyarakat Melayu belum menyiapkan pranata untuk memenangkan persaingan menguasai sumber daya. Yang ada  sekarang, mereka tetap merasa diri terinjak-injak dan teraniaya. Persoalannya menurut sosiolog UI Prof Dr Sardjono Jatiman (58), masyarakat pendatang memiliki kultur kekerasan. Katanya, “Untuk menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan senjata. Mereka memiliki budaya miskin yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadilah benturan-benturan budaya.”

Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie mengungkapkan, solusi jangka pendek adalah mengeluarkan untuk sementara waktu warga Madura dari kantung-kantung konflik di Kabupaten Sambas. Sesudah itu, tambah Sardjono, mereka meminta maaf kepada masyarakat Melayu (dan juga Dayak).
***

PERTIKAIAN antaretnis yang terjadi berulang kali di Kalbar, menurut Sardjono, karena masing-masing kelompok tidak belajar dari pengalaman untuk hidup bersama secara menguntungkan. “Ibaratnya, pelajar sekolah tidak naik kelas berkali-kali. Dan kalau sampai sebelas kali, itu sudah keterlaluan,” katanya.

Parsudi Suparlan melihat masyarakat pendatang tidak belajar dari diri sendiri dan dari orang lain. Tegasnya, “Kok di daerah lain orang Madura bisa akur, tetapi di Kalbar selalu bertikai. Ini disebabkan masyarakat Melayu tidak tegas menuntut.” Menurut Parsudi, masyarakat Madura menyadari kekeliruan mereka. Dalam pertemuan dengan tim pakar Mabes Polri, mereka bersedia mengoreksi warganya yang melanggar hukum. Perbuatan oleh pribadi dan individu, tidak boleh dianggap sebagai perbuatan kelompok. Kalau satu orang mencuri, satu kampung tidak kemudian “mendukung” individu yang berbuat salah, seperti yang terjadi selama ini. 
Singkatnya, kata Sardjono, aturan main harus adil. Pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui lembaga adat dan proses penegakan hukum yang adil. Tetapi ini semua tidak terjadi di Sambas. Kasus penyerangan perkampungan Melayu di Desa Parit setia (Kecamatan Jawai) oleh masyarakat Madura pada Hari Idul Fitri 19 Januari, kata Budhisantoso, seharusnya dapat diselesaikan melalui proses hukum yang adil. Masyarakat Melayu melihat dan mengalami ketidakadilan ini bukan cuma satu-dua kali, tetapi sudah bertahun-tahun. Mereka merasa seperti dijajah. Kemarahan terungkap dalam amuk massa, karena menganggap hukum tak lagi adil. Dalam berbagai kasus, begitu ada warga pendatang ditangkap polisi, satu kampung mendatangi kantor polisi dan mengintimidasi petugas serta pihak yang melaporkan mereka. Warga melihat petugas tidak tegas karena dengan mudahnya melepaskan penjahat, preman yang meresahkan, hanya karena uang. Rasa keadilan yang tidak terpenuhi serta benturan-benturan budaya yang terjadi lebih 50 tahun lamanya di Sambas, melahirkan “pengadilan rakyat” yang membuahkan sebuah tragedi umat manusia.